Tertinggal Darah Diujung Madura
Tertinggal darah di ujung Madura
Aku percaya bahwa setiap perjalanan membawa kisahnya masing- masing, kisah inspiratif penuh suka duka yang takkan terlupa sepanjang usia, kisah yang membuat aku sadar artinya bertahan ditengah kesederhanaan yang ada.
Saat ini, izinkan aku mencoba tuk abadikan kisah itu dalam sebuah hitam diatas putih, perjalanan hidup gadis biasa yang mengabdi sebagai pengajar bahasa inggris selama satu bulan di Madura.
Dimulai dari 2 orang sepupu laki-lakiku yang mempercayakan masa SMA-nya 5 tahun di Pesantren sederhana kabupaten sumrnep bernama Al-Amien, adik bungu perempuanku pun nekat pergi kesana menyusul sepupunya, jadilah aku sebagai anak sulung yang kebetulan sudah lama kursus dan mengajar di Kampung Inggris Pare-lah yang harus menjadi wali, mengantar, mengurus kebutuhan serta menemaninya sampai dia benar-benar beradaptasi disana.
Akan tetapi karena sibuknya kegiatanku mengajar serta dibutuhkanya 8-9 jam perjalanan untuk kesana membuatku sangat jarang mengunjungi adikku, kesempatanku hanya waktu libur yang lumayan lama atau paling tidak, ada ongkos yang bisa ku pakai diperjalanan, barulah bisa kesana.
Entah kebetulan atau memang takdir, 2 orang teman laki-lakiku juga berasal dari kota garam tersebut, sehingga mudah bagiku untuk pergi kesana walau sendirian mengingat aku punya 2 orang penunjuk arah.
Setelah satu bulan aku tidak berkunjung ke Sumenep karena sibuk Safari Teaching ( kegiatan mengajar bahasa inggris gratis ke sekolah-sekolah ) di sekitar pare, kediri, kandangan dll, tibalah saatnya Master Teaching ( Tutor-tutor binaan lembaga Pare-Dise ) untuk melakukan Safari Teaching yang lebih serius yaitu diluar area Kediri.
Berkat 2 orang teman laki-lakiku, pihak lembaga bisa mendapatkan informasi bahwa salah satu pondok pesantren disana bernama Nasyrul Ulum dengan senang hati mau bekerja sama dengan pihak lembaga Pare-Dise untuk para santri mereka diajari bahasa inggris secara gratis disana, oleh karena itu diperlukan satu dari empat group Safari teaching yang telah dibentuk untuk mengajar disana, hal itu tentunya berita yang sangat mengembirakan bagiku mengingat adik dan sepupuku ada disana, akupun mengajak teman - teman satu timku ( Mr. Bahar dan Miss Rastuti ) untuk mengajar di Madura saja. Setelah mereka bersedia, barulah kita bersiap-siap untuk berangkat ke ujung pulau Madura tersebut.
Perjalanan kesana dimulai kurang lebih pukul 6 pagi yang seharusnya membuat kami tiba disana pukul 1 siang, sialnya bis yang kami tumpangi untuk ke sumenep malah menurunkan kami ke terminal kota Pamekasan, kota tetangga sumenep, supir bis menyuruhkan kami untuk menunggu bis lain disana sehingga membuat kami terlambat 1 jam dari jadwal yang sudah di tentukan.
Setelah perjalanan panjang akhirnya kami sampai di PP. Nasyrul Ulum pukul 2 siang, kami dijemput langsung oleh Wakil pengasuh pondok yakni K.H Zamzami Sabiq MPSi. Beliau mengarahkan kami tentang segala hal mengenai pondok dan beberapa kegiatan yang akan kami lakukan disana.
Tak pernah terlintas dibenakku bahwa kami akan diperlakukan dengan begitu istimewa, layaknya Raja dan Ratu semua keperluan kami dilayani dengan sangat baik mulai dari makan disuguhi, baju dicucikan, dan lain - lain sebagainya.
Pada malam hari setelah kami datang, kami langsung di buatkan penyambutan kecil-kecilan dengan dikumpulkannya semua santri untuk memperkenalkan kami sebagai pengajar English Club disana. Besoknya, kami dibuatkan penyambutan juga dengan adanya upacara bendera pada pagi senin.
Tidak lama setelah dapat jadwal English Club, kami langsung diminta untuk mengisi kelas kosong yang ada di pondok, akupun mendapat bagian mengisi kelas 12 SMK putri. Sebelumnya dipikiranku juga merasa tidak enak mengingat image anak SMK yang super nakal, apalagi tidak semua anak sekolah suka dengan bahasa inggris, walau sudah biasa bagiku menghandle anak nakal, tapi tetap saja lingkungan baru membuatku perlu adabtasi dan gugup pastinya tetapi pikiran khawatir itu seketika lenyap ketika melihat wajah-wajah antusias dari anak-anak tersebut dalam menerima bahasa inggris, mereka heboh, tertawa, ramah dan sangat menghargai kami, benar-benar tipe murid idaman.
Hal-hal yang membuatku jatuh cinta dan sulit melupakan Madura diantaranya adalah kesopanan, keramahan, serta adab dan budayanya sangat kental. Bayangkan saja, saat itu bel pertanda pulang sekolah telah berbunyi, aku duduk di pendopo dan bersantai bersama teman-temanku, saat kulihat disebelah kiri, berbondong-bondong anak-anak cowok SMK menuntun motor mereka melewati kami.
"Hey, habis minyak ya? Kenapa nggak di kendarain motor kalian? " kata Mr. Bahar.
"Nggak apa-apa Mr. Adab anak pondok memeng begini"
Luar biasa, mereka sangat menghormati guru mereka.
Dalam cerita lain, saat pak Kyai hendak pulang dari perjalanan ke pondok, yang tadinya para santri di sekitar jalan duduk, langsung berdiri dan menunggu sampai mobil itu lalu, begitupun saat beliau dan Istri berjalan kemanapun, para santri langsung berdiri dan menyalimi tangan mereka.
MasyaAllah, I've never experienced this beforehand. Saat itu banyak sekali kejadian dan hal-hal baru yang menjadi pertanyaan besar di otakku, kenapa tidak di kendarai saja motornya? Kenapa harus berdiri saat guru atau kyai lewat? Kenapa takut bergabung makan dengan guru? Mengapa harus menunduk saat menyapa? Dan banyak hal lain.
Saat kubandingkan dengan Palembang, boro-boro mereka dorong motor saat melewati orang, malah di gas-gas untuk menunjukkan bahwa mereka punya motor. Begitupun saat menyapa, bukannya menunduk, kami terbiasa temenaikan dagu kami untuk bertegur sapa yang mungkin bukanlah hal yang sopan untuk sebagian daerah.
Kok ada ya kota dimana kesopanan benar-benar dijunjung tinggi?
Jujur saat malam pertama hendak tidur, aku benar-benar merasa kaget dengan keadaan asrama yang ada, berbanding terbalik dengan Pare-Dise, kamarnya begitu kecil untuk ditinggali 8 orang pengurus, atap seng yang membuat aura kamar menjadi seperti di sauna, tidak ada kipas angin, tidak ada kabel untuk charger handphone, kalo mau charger harus ke kamar santri dan itupun hanya satu colokan.
Tak kalah kaget ketika kulihat kamar santri, hanya satu orang yang tidur menggunakan kasur, sisanya memakai tikar atau alas tipis berupa kain untuk menjadi teman tidur, mereka juga mewadahi air keran dengan botol mereka masing-masing untuk minum, aku benar-benar speechless, dan yang paling membuatku tersiksa adalah TIDAK ADA FREE WI-FI. Dear me,
bagaimana mungkin mereka bisa bertahan ditengah kondisi mereka yang serba sederhana seperti ini? Aku saja sudah mengeluh dalam hati, pikirku.
Seiring berjalannya waktu, aku mulai terbiasa dengan keadaan disana, harus gantian saat mau charger, baterai HP yang sering kali low, kepanasan saat mau tidur, kesulitan beli barang-barang karena jauh dari toko dan lain - lain yang mungkin biasa dialami para santri, tapi merupakan hal baru bagi kami yang sudah terbiasa dimanjakan oleh zona nyaman Pare.
Dua minggu kami lalui dengan senyuman, tak terasa kami semakin terhanyut dengan keadaan yang ada, serasa berubah menjadi orang Madura, kami sudah banyak tahu kata-kata, kalimat dan kebiasaan disana yang akhirnya menular kepada kami, dikarenakan makan tiga kali sehari dengan suguhan daging dan sebagainya membuat porsi makan besar sehingga berdampak pada porsi badan yang juga besar, kulihat baju-baju yang kupakai menjerit, meminta diganti yang baru karena sudah hampir tidak cocok di badan, Ya Tuhan, aku terpaksa putar otak mengingat aku hanya membawa 6 style baju dan sekarang baju tersebut sudah kekecilan semua, mungkin aku terlalu sedikit beraktifitas, semuanya dilayani disini, ah tapi tidak apa-apalah, bukankah gendut itu tanda bahagia?
Aku mencoba menerawang saat-saat kami mengajar, guru-guru disana begitu ramah menerima kami, bahkan mereka mau meminta diajari games Mr. Bahar, anak-anak disana benar-benar membuat kami jatuh cinta, mereka memanggil kami baik saat kelas kosong, ataupun ketika ada guru, mereka tetap memanggil kami, meminta guru mereka keluar, hal itu kadang membuat kami mengajar bahkan sampai 5 kali sehari. Belum lagi ketika mereka minta diajari di asrama, berkat antusias mereka, kami berhasil membuat English day setiap hari Selasa dan Kamis, Kami juga berhasil mengadakan Competition cerdas cermat bahasa inggris, walau tidak terlalu besar, tapi kami bisa memberikan sertifikat dan hadiah kepada pemenang, Kami juga berhasil memasukan bahasa inggris pada kegiatan khitobah mereka, dan masih ada beberapa program lagi yang mungkin akan sangat panjang jika di lampirkan.
Ssbenarnya sejak awal kami datang, sudah ada niat evil untuk membuat mereka jatuh cinta, sayang dan takut kehilangan kami dengan membuat mereka menangis tetapi entah mengapa, berat rasa hati untuk meninggalkan tempat kecil itu, segalanya terasa berat di minggu terakhir dimana kami mengambil peran yang sangat besar mulai dari melatih anak-anak pensi dan menjadi MC kegiatan pensi yang membuat kami terbiasa dekat dengan anak-anak lebih dari sekedar guru dan murid, dimana hal itu mungkin tidak akan didapatkan dari guru lain oleh para santri, fix, kami jatuh cinta.
Tibalah saatnya dimana hari penutupan pertama tiba, ditemani deraian air mata, kami dilepas kenang setelah satu bulan lamanya, tetapi tangisa iti tidaklah sebesar pelepasan terakhir pada malam hari rabu, semua santri menangis meminta kami untuk tidak meninggalkan mereka, kami menyerah, kami menangis menahan sesak karena harus meninggalkan kota indah yang menjadi tempat kami bernaung selama satu bulan terakhir. Begitu banyak yang kami dapat, yang akan kami simpan dihati kami selamanya.
Sumenep, tidak hanya kotanya yg sejuta kenangan , tetapi anak-anak berbakat yang luar biasa juga ada disana. Kami akan kembali lagi saat waktunya telah tiba, kami tidak sepenuhnya pergi, telah kami tinggalkan darah kami di PP. Nasyrul Ulum dan akan kami ambil lagi saat jejak kaki kami sudah kembali kesana lagi. Wait us back Madura.
Komentar
Posting Komentar